Minggu, 21 Agustus 2011

Aisyah dan hujan romantis

Sudah bukan waktunya. Kemarin pun sia-sia. Tapi sepanjang perjalanan, tak pernah sedikit pun hilang tanpa isi. Tanpa nurani, tanpa angan-angan, oh sungguh tak terpisahkan.

Memang kemarin masamu tersenyum. Tapi aku masih gusar menunggu terbitnya terang. Memang kemarin masamu tersenyum. Tapi mendung pun tak kunjung hujan. Bila patah arang, sudahlah sepantasnya.

Sekarang, sekarang aku bertemu terang. Bahkan hujan membasahi. Namun ternyata hujan buatku menggigil sendiri. Sudah sepantasnya sendiri. Tidak mungkin bukan, aku menyingkap tirai-tirai cumbu manis kalian. Betapa bodohnya aku, aisyah dalam lamunan, berjalan pun aku tak mampu.

Aisyah kini, masihkah dia berceloteh di angan-angan radio gusar? Ah sungguh manis bila dikenang. Aisyah yang dulu sangat manis senyumnya. Mungkinkah senyum itu cinta dan ketulusan? Atau mungkin senyum itu penghargaan? Tak apalah, setidaknya aisyah masih tersenyum manis.

Meski pun kenanganmu tak terpisahkan aisyah, tapi mendung berkata demikian. Hujan nyatanya sangat dingin membasahi. Menjadikan aku semakin menggigil dan pucat pasi. Bila datanglah kehangatan sekarang, biarlah aku sedikit berteduh aisyah. Berteduh untuk bertahan, bertahan menanti hujan yang lebih manis. Hujan yang dingin tapi melenakan, hujan yang basah tapi mengasikkan.

Tapi aisyah, bilamana sebagian hujan-hujan pengharapan ini sudah tak layak, biarlah mendung berkepanjangan. Janganlah sekali pun datang lagi hujan yang membuatku menggigil dan pucat pasi. Sementara aku, aku akan mencoba bersahabat dengan musim semi aisyah.

Meski pun masih dalam kenangan, tapi biarlah aku bersahabat dengan musim semi. Siapa tau ada musim lebih manis dari musimku aisyah. Selama musim-musim itu melenakanmu, aku pun sangat bahagia. Dan aku, aku akan mencoba bersahabat dengan musim semi aisyah.

Hingga lelap timpal galau

Kini lagu gusar bercumbu manis di pelupuk ratapan

Penghujung hidupnya harmoni di mimpi-mimpi manisku

Setiap malam kunantikan tidur cepat

Hingga lelapku timpal galau

Meski malamku cukup hidup dalam lamunan senja

Tapi fajar tak iba melihat lelap manisku

Dia datang bersama embun-embun melekat menyayat

Meratapkan setiap sendi-sendi penghidupan

Bahkan hati hangat, dijadikannya beku dan sekarat

Fajar datang bersama kenangan klasik darimu

Kenangan yang memaksa peluh sesak mndesak

Sudah puas lihat aku terisak tangis

Biar merintih pun tidak akan datang hari manis

Kecuali lelapku yang kembali timpal galau

Kidung-kidung mati di tengah jalan

Sungguh berat ditinggal pergi

Lagi-lagi sunyi dan sepi

Apa makna kebersamaan, tak ada lagi keramaian

Apa rasa resah mendesah? Oh tidak, kasihan telah ditinggal pergi

Sendiri boleh sendiri, sunyi pun tak salah dikehendaki

Lihat, masa depan cukup manis

Seandainya kidung-kidung itu sampai ditelingamu

Pastilah kamu tau untuk apa boleh minta sendiri

Bukan, bukan pergi dari impian

Inilah masa depan sesungguhnya, pengorbanan, serta melawan rasa

Bukan niat aku pergi begitu saja

Di sini dengan jerami ku bangunkan istana megah

Hingga nanti kau lihat, jerami pun akan indah bila kita berdua

Tapi sayang, kidung-kidung tak sampai di telingamu

Belum megah istana jeramiku, kau lebih dulu dipinang