Sudah bukan waktunya. Kemarin pun sia-sia. Tapi sepanjang perjalanan, tak pernah sedikit pun hilang tanpa isi. Tanpa nurani, tanpa angan-angan, oh sungguh tak terpisahkan.
Memang kemarin masamu tersenyum. Tapi aku masih gusar menunggu terbitnya terang. Memang kemarin masamu tersenyum. Tapi mendung pun tak kunjung hujan. Bila patah arang, sudahlah sepantasnya.
Sekarang, sekarang aku bertemu terang. Bahkan hujan membasahi. Namun ternyata hujan buatku menggigil sendiri. Sudah sepantasnya sendiri. Tidak mungkin bukan, aku menyingkap tirai-tirai cumbu manis kalian. Betapa bodohnya aku, aisyah dalam lamunan, berjalan pun aku tak mampu.
Aisyah kini, masihkah dia berceloteh di angan-angan radio gusar? Ah sungguh manis bila dikenang. Aisyah yang dulu sangat manis senyumnya. Mungkinkah senyum itu cinta dan ketulusan? Atau mungkin senyum itu penghargaan? Tak apalah, setidaknya aisyah masih tersenyum manis.
Meski pun kenanganmu tak terpisahkan aisyah, tapi mendung berkata demikian. Hujan nyatanya sangat dingin membasahi. Menjadikan aku semakin menggigil dan pucat pasi. Bila datanglah kehangatan sekarang, biarlah aku sedikit berteduh aisyah. Berteduh untuk bertahan, bertahan menanti hujan yang lebih manis. Hujan yang dingin tapi melenakan, hujan yang basah tapi mengasikkan.
Tapi aisyah, bilamana sebagian hujan-hujan pengharapan ini sudah tak layak, biarlah mendung berkepanjangan. Janganlah sekali pun datang lagi hujan yang membuatku menggigil dan pucat pasi. Sementara aku, aku akan mencoba bersahabat dengan musim semi aisyah.
Meski pun masih dalam kenangan, tapi biarlah aku bersahabat dengan musim semi. Siapa tau ada musim lebih manis dari musimku aisyah. Selama musim-musim itu melenakanmu, aku pun sangat bahagia. Dan aku, aku akan mencoba bersahabat dengan musim semi aisyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar